Selama ini, aku selalu bingung, kenapa aku sedih, kenapa aku tidak bahagia, kenapa aku sering merasa punya masalah namun tak pernah bisa menemukannya? Aku terus mencari dan mencari, apa masalahku sebenarnya. Apa yang aku khawatirkan? Apa yang aku takutkan? Dan kini aku menemukannya. Aku menemukan bahwa masalahku yang sesungguhnya adalah ketidaklancaran komunikasi antara aku dan kedua orang tuaku.
Bagaimana bisa komunikasi di antara kami lancar? Orang tuaku itu selalu menganggap dirinyalah yang paling benar. Mereka tidak pernah mau mendengarkan pemikiran anak-anaknya. Mereka selalu berpatokan bahwa pendidikan yang mereka dapatkan dari orang tua mereka PADA JAMAN DAHULU: kekerasan dapat menghentikan anak. Ketika jaman sudah berubah, mereka tetap memakai cara itu. Beruntung aku masuk UGM dan tinggal jauh dari mereka di Jogja sehingga aku SEMPAT MERASAKAN KEBEBASAN. Aku heran kenapa Dwi bisa nggak sakit jiwa tinggal satu rumah bersama mereka.
Parahnya, aku merasa begitu menyesal telah menjadi anak baik, menuruti mereka sejak kecil, mengiyakan apapun yang mereka perintahkan. Hingga masa kecilku kurang bahagia. Aku nggak boleh ini, nggak boleh itu, minta uang buat main kesini nggak dikasih, main kesitu nggak dikasih, sementara teman-temanku begitu bahagia bermain di luar sana. Soal pemikiran pun aku terkekang. Ingat saat masa-masa awal aku memutuskan berjilbab dulu, ibuku adalah orang yang paling menentang. Wanita itu selalu berucap, "jangan fanatik sekalilah pake pake jilbab... bla bla bla..." Bahkan aku dituduh diajak ikut NII lho sama dia. Astagaaa. Dan kalian salah banget kalo menyangka bahwa itu adalah kata-kata paling kasar yang ia keluarkan, masih banyak kata-kata yang lebih kasar daripada itu. Untung saja saat itu masih ada bapak yang dukung aku.
Saat aku berteriak ketakutan melihat kecoa terbang, ibu justru meneriaki dan memakiku habis-habisan, bukannya melindungi dan menenangkan aku. H min 1 wisuda SMA-ku dulu, kalau ibu-ibu lain membelanjakan anaknya baju dan sepatu yang bagus, maka ibuku sibuk memusuhiku karena aku lupa menyapu rumah. Alhasil, dandananku adalah yang terburuk di antara semua teman-temanku. Wanita itu tak akan pernah tahu bahwa hari itu begitu penting bagiku. Ketika aku belajar menulis novel dulu, ibulah yang paling sering mengejekku dan mengatakan bahwa aku tak mungkin berhasil. Ketika aku melakukan sedikit kesalahan dalam menyapu rumah atau mencuci piring, maka ibuku akan mengatai aku bodoh, lantas dilanjutkan dengan omelan panjang, dan diakhiri dengan "aku menyesal telah melahirkan kamu". Padahal tak sekali pun aku pernah membantahnya saat itu. Aku, sangat tidak bahagia memiliki ibu yang seperti ini. Oleh karena itu, tidak heran jika aku lebih dekat dengan ayah daripada dengan ibu. Namun, ayah pun pada akhirnya pasti terpengaruh oleh ibu. Lalu mereka bersama-sama menentang kami, anak-anaknya.
Bukannya kami tidak pernah mencoba mengutarakan maksud kami. Pernah, bahkan sering. Namun, baru kami mengucap sepatah kata, belum sempat menyelesaikan satu kalimat, kami sudah disela, omongan kami disela dengan makian dan kemarahan mereka. Oh, Tuhan, terima kasih karena tidak membuat kami sakit jiwa selama ini.
Kami ini, dua anak yang pemikirannya nggak pernah didengar orang tua kami. Kami sudah terbiasa mendengar kata-kata kasar dari orang tua kami. Kami terlalu sering dicekoki untaian kalimat negatif dari orang tua kami. Tapi Dwi lebih beruntung karena wataknya keras sehingga dapat dengan mudah menaklukkan bapak dan ibu, sedangkan aku, aku tidak bisa sekasar itu memperlakukan orang tua, walaupun pada akhirnya aku yang sakit hati.
Maafkan aku ya ibu dan bapak karena nggak puas terhadap cara kalian mendidik kami. Kalian sudah sangat baik sebagai orang tua secara official. Tapi, kelembutan kasih sayang dan kemauan kalian untuk mendengarkan kami sesungguhnya lebih kami butuhkan daripada setumpuk uang dan makanan. Sadarlah bahwa kami sudah dewasa, kami tahu betul jalan mana yang harus kami tempuh. Dan maaf kalau setelah ini aku akan menyembunyikan lebih banyak hal lagi dari kalian. Kesabaranku sudah mencapai batas terdalam dan tak mungkin ditoleransi lagi. Aku tidak mau lagi mendengar kemarahan kalian. Maaf, karena aku rasa aku juga punya hak untuk bahagia. Berharap dapat mengatakan hal ini secara langsung pada kalian, namun sepertinya tidak mungkin, sangat tidak mungkin.