BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS
Whenever you knock me down, i will not stay on the ground (Justin Bieber-Never Say Never)

Monday, July 18, 2011

Kasih Sayang yang Tanpa Ekspresi

Kalau kebanyakan orang ketika masih kecil sangat menggemaskan hingga selalu digendong oleh orang tuanya, maka aku tidak. Sejak umur dua tahun lebih aku sudah tidak pernah lagi digendong. Bahkan pembantuku saja tidak mau menggendongku. Aku hanya digandeng, berjalan kaki. Itu saja, tidak lebih.
Kalau kebanyakan orang diantar oleh ibunya di hari pertamanya masuk sekolah, maka aku tidak. Yang mengantarku ke sekolah di hari pertamaku bersekolah adalah kak Imah, pembantuku. Itu pun perhatiannya terbagi antara mengawasiku dengan menidurkan Dwi yang ada di gendongannya. Dimana ibuku? Bekerja.
Kalau kebanyakan orang setiap pulang sekolah selalu ditanyai tentang apa saja yang terjadi di sekolah, maka aku tidak. Di malam hari, satu-satunya waktu dimana aku, ayah dan ibu berkumpul, ayah dan ibu sibuk berbincang mengenai segala hal yang terjadi di kantor, sedangkan aku menonton TV di antara mereka.
Bahkan tiap kali hari pengambilan rapot tiba, selalu saja hampir tidak ada yang mau mengambil rapotku. Ibu selalu berkata, "bapak aja yang ngambil rapot ya." Lantas ayah berkata sebaliknya. Namun aku bersyukur, pada akhirnya selalu ada yang mengambil rapotku: ibu. Walaupun kedatangannya ke sekolah selalu terlambat. Ia tak pernah begitu antusias mengambil rapotku. Bahkan ketika aku diterima di SMA favorit, dia sama sekali tak bersemangat. Yang mengurus segalanya hanya aku dan ayah. Sejujurnya aku iri saat tahu betapa antusiasnya ia mengurus kepentingan adikku untuk masuk SMA yang sama denganku beberapa waktu lalu.
Masalah uang jajan, aku nggak pernah minta macam-macam walaupun uang jajanku waktu SMP dan SMA jauh di bawah uang jajan rata-rata teman-temanku. Aku inget banget waktu SMP mau main ke bioskop cuma dikasih uang 20.000. Itu cuma bisa buat beli tiket sama ongkos. Tapi aku ngga minta lebih. Udah syukur dikasih. Untung aku ini anak yang cukup rajin menabung. Jadi bisa menambal uang 20.000 itu.
Aku nggak pernah protes. Bahkan di belakang mereka pun aku tak pernah berpikir macam-macam. Padahal, Dwi, yang menurutku sangat dimanja oleh ibu dan ayahku, pernah bilang gini, "seharusnya ibu nggak kerja. Di sekolah kan diajarinnya ayah pergi ke kantor dan ibu pergi ke pasar." Aku cukup terkejut dia ngomong gitu. Menurutku, perlakuan ayah dan ibu ke dia sangat baik, lebih dari aku. Dia masih digendong dan dipeluk-peluk bahkan saat ia sudah berumur empat tahun lebih. Ibu selalu bersemangat mengurus sekolahnya. Ayah juga selalu memberikan apa yang ia minta.
Sekarang aku kuliah di luar kota. Teman-temanku, di hari pertamanya merantau, ada keluarga yang menemani. Imel, ibunya yang nemenin. Wulan, ibunya juga yang nemenin. Hemas, yang nemeninnya rame: ayah, ibu dan ketiga adiknya. Nisa lebih rame lagi: ibu, ayah, tante, nenek. Aku? Aku sendirian di hari pertama itu. Padahal semua orang tahu kalau aku sendirian dari SMA-ku, nggak punya temen, nggak punya sodara. Awalnya aku baik-baik saja. Tapi sorenya, saat Imel dan Wulan beserta ibu mereka mengajakku berbelanja, menyadari bahwa hanya aku sendiri yang tak punya ibu, barulah aku menangis dalam hati.
Sekali-sekalinya aku dijenguk keluarga adalah saat aku masuk rumah sakit semester 2 dulu. Saat itu mungkin ibu takut aku mati makanya nyusul ke jogja. Itupun nggak lama. Beberapa jam saja setelah aku keluar dari rumah sakit, ibu langsung pulang lagi ke Jakarta. Sampai sekarang, ibu nggak pernah datang lagi. Sekarang aku udah pindah kos. Ibu nggak tau dan sepertinya nggak mau tau aku tinggal dimana sekarang. Jenguk pun nggak pernah. Mirisnya, di kos itu cuma aku satu-satunya penghuni yang nggak pernah dijenguk keluarga. Penghuni lain semuanya pernah dijenguk. Hal ini terkadang membuatku berpikir gila untuk menyakiti diriku sendiri sampai masuk rumah sakit supaya ada yang menjengukku.
Bukannya iri, oke, mungkin aku iri, pacar aku, yang notabene cowok aja, ayah dan ibunya bergantian menjenguknya beberapa kali. Saat pindahan kos, ayahnya datang membantu. Aku? Untung aja aku punya teman-teman yang baik yang mau membantu. Kalo nggak, yah, mungkin aku sudah bawa-bawa barang sendiri dan badanku tambah kecil.
Nggak cuma masalah kos-kosan, tapi masalah di stasiun juga. Kalau Lea selalu diantar ibu dan adiknya, Elsa selalu diantar ayahnya, maka aku hanya diantar bapak sesekali. Beberapa kali aku harus ke stasiun naik ojek dari rumah, nggak ada yang nganter. Bahkan pernah aku diturunin di jalan sama bapak karena macet di dekat stasiun. Kalau bapak dan ibu waktunya lagi longgar, ibu selalu males nganter aku. Selalu bapak. Dan itu pun nggak pernah sampai tuntas. Bapak selalu udah menghilang sebelum keretanya jalan, nggak kayak ibunya Lea yang masih melambaikan tangan sampai kereta itu menghilang dari pandangannya. Aku ingat Lea nanya, "lho, bapak kamu mana?" saat ibunya masih melambaikan tangan dan kereta mulai berjalan. Pernah sekali ibuku mengantar, bareng ayah juga. Tapi sama aja, nggak tuntas.
Aku nggak pernah berpikir mereka nggak sayang sama aku. Tentu saja mereka sayang. Cuma mungkin penyampaiannya ngga seperti kebanyakan orang. Dan sekarang aku seharusnya sudah terbiasa dengan jenis kasih sayang yang tanpa ekspresi ini. Tidak seharusnya aku iri sama orang lain dan tidak seharusnya pula aku mengharap mendapat jenis kasih sayang penuh ekspresi yang biasa orang lain dapatkan. Nggak boleh kekanak-kanakan. Lantas mengapa sekarang aku menangis?

0 komentar: